Puasa Bagi Orang Sakit dan Musafir (Dalam Perjalanan) – Fiqih Puasa Ramadhan Bag. 5

Puasa Bagi Orang Sakit dan Musafir (Fiqih Puasa Ramadhan Bag. 5) | Kangdede – Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh. Salah satu amalan yang harus dipersiapkan dalam menyambut datangnya bulan ramadhan adalah mempersiapkan bekal ilmu, terutama ilmu syar’i mengenai puasa di bulan ramadhan. Oleh karena itu kangdede mencoba mengambil kembali artikel yang pernah ditulis di blog yang sudah kurang aktif lagi yaitu sakuilmu.net

Artikel yang kangdede ambil adalah mengenai fiqih puasa ramadhan. Dan pembahasan kali ini, kita sampai pada ketentuan puasa bagi orang sakit dan musafir.

Tidak bisa dipungkiri, bahwa kesehatan kita tidak selamanya bagus. Ada kalanya kondisi tubuh kita berada dalam posisi yang lemah hingga menyebabkan datangnya penyakit. Kondisi sakit ini tidak memandang waktu, demikian pula pada bulan ramadhan tidak ada jaminan kita selalu sehat.

Oleh karena itulah kita harus mengetahui bagaimana sebenarnya ketentuan Islam mengenai puasa ramadhan bagi orang sakit dan dalam perjalanan (musafir)

 

Ketentuan Puasa Bagi Orang Sakit dan Musafir 

Bagaimana ketentuan puasa bagi orang sakit dan musafir? Al-Imam as-Sa’di berkata, “Orang sakit yang terkena mudharat kerana berpuasa dan musafir, keduanya memiliki pilihan untuk berbuka (tidak berpuasa) atau tetap berpuasa.”

Namun tentu saja ada beberapa kriteria yang harus terpenuhi bagi orang sakit dan musafir yang memiliki pilihan untuk tidak puasa. Berikut penjelasannya :

1. Ketentuan Puasa Bagi Orang Sakit

a. Dalil Bolehnya Berbuka (Tidak Puasa) bagi Orang Sakit dan dalam Perjalanan (Musafir)

Dalil bolehnya orang sakit untuk berbuka (tidak berpuasa) adalah firman Allah:

أَيَّامًا مَّعْدُودَاتٍ ۚ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ۖ فَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُ ۚ وَأَن تَصُومُوا خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ [٢:١٨٤]


(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.

b. Kriteria Sakit yang menjadi uzur untuk tidak berpuasa

Al-Imam as-Sa’di menyatakan kriteria sakit yang menjadi uzur untuk mendapat keringanan tidak berpuasa adalah apabila orang sakit tersebut akan mendapat mudharat jika berpuasa. Mudharat itu adalah sakitnya semakin parah atau memperlambat kesembuhannya. Ini adalah pendapat al-Imam Ahmad, al-Imam Malik, dan selaras dengan pendapat ulama ahli fikih di kalangan mazhab Syafi’i.

Namun, Fatwa al-Lajnah ad-Da’imah (10/180) yang diketuai al-Imam Ibnu Baz, membolehkan berbuka apabila puasa itu berat bagi orang sakit itu, meskipun tidak menimbulkan mudharat terhadap keadaan sakitnya.

Al-Imam Ibnu Utsaimin merincikan pendapat beliau dalam asy-Syarh al-Mumti, 6/352-353. Ini merupakan pendapat yang terkuat dan terbaik dalam masalah ini:

  1. Jika berpuasa itu memberi pengaruh kurang enak pada dirinya, tetapi tidak sampai memberatkannya. Pada keadaan ini, berbuka adalah sunnah baginya, sedangkan berpuasa dibolehkan baginya (tidak makruh).
  2.  Jika berpuasa terasa memberatkan dirinya, tetapi tidak sampai memberi mudharat. Pada keadaan ini, berbuka adalah sunnah baginya dan makruh untuk berpuasa.
  3. Jika berpuasa memberi mudharat terhadapnya, seperti penderita sakit ginjal, sakit gula (diabetis) dan semacamnya. Pada keadaan ini, wajib atasnya untuk berbuka dan haram untuk berpuasa.

2. Ketentuan Puasa Bagi Musafir (Orang Yang Sedang Dalam Perjalanan)

a. Dalil Bolehnya Tidak Puasa bagi Musafir

Dalil bolehnya orang yang sedang dalam perjalanan untuk berbuka puasa (tidak puasa) adalah surah Al-Baqarah 184 diatas.

“Sesungguhnya Allah telah meringankan dari seorang musafir setengah dari solatnya, serta meringankan pula kewajipan puasa dari seorang musafir, wanita menyusui dan wanita hamil.” (HR Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i dan Ibnu Majah. Dishahihkan al-Albani dan dihasankan al-Wadi’i)

b. Kriteria Musafir

Para musafir memiliki beberapa keadaan yang masing-masingnya memiliki hukum tersendiri:

1. Berpuasa atau berbuka sama saja bagi musafir itu.

Ada 3 pendapat dalam masalah ini:

Pendapat pertama menyatakan bahawa yang afdhal baginya adalah berpuasa. Ini pendapat al-Imam Abu Hanifah, al-Imam Malik, al-Imam Syafi’i. Ini dipilih oleh Ibnu Hajar dan al-Imam Ibnu Utsaimin. Dalilnya:

“Kami pernah melakukan safar bersama Rasulullah pada bulan Ramadhan dalam keadaan cuaca sangat panas, sehingga salah seorang di antara kami benar-benar meletakkan tangannya di atas kepalanya kerana cuaca yang sangat panas. Tidak seorang pun di antara kami berpuasa kecuali Rasulullah dan Abdullah bin Rawahah.” (Muttafaq ‘alaih)

Pendapat kedua menyatakan bahawa yang afdhal baginya adalah berbuka. Ini adalah pendapat al-Imam Ahmad dan Ishaq Rahawaih. Dan dipilih oleh al-Imam Ibnu Taimiyah, al-Imam Ibnu Baz dan al-Lajnah ad-Da’imah. Dalilnya:

“Wahai Rasulullah, saya merasa diri saya memiliki kekuatan untuk berpuasa dalam safar. Apakah saya terkena dosa (kerana berpuasa)?” Rasulullah menjawab, “Berbuka adalah keringanan dari Allah. Maka dari itu, barang siapa mengambil keringanan itu, hal itu adalah baik, dan barang siapa memilih untuk tetap berpuasa, tidak ada dosa atasnya.” (HR Muslim)

Pendapat ketiga menyatakan bahawa yang lebih utama baginya adalah mana yang paling mudah baginya antara berpuasa atau berbuka, ditinjau dari segi susah atau tidaknya untuk melakukan qadha. Jika lebih mudah untuk berpuasa dan susah untuk melakukan qadha, yang afdhal baginya adalah berpuasa. Jika melakukan qadha di luar Ramadhan lebih mudah baginya, yang utama adalah melakukan qadha. Ini adalah pendapat Mujahid, Umar Abdul Aziz, Qatadah. Ini dipilih oleh Ibnul Mundzir dan al-Imam al-Albani. Dalilnya:

“Wahai Rasulullah, sungguh saya adalah seorang yang selalu berpuasa. Apakah saya boleh berpuasa ketika safar?” Rasulullah menjawab, “Silakan berpuasa jika engkau mahu, dan silakan berbuka jika engkau mahu.” (HR Bukhari dan Muslim)

2. Berbuka lebih ringan bagi musafir.

Al-Imam Ibnu Utsaimin menyatakan bahawa keadaan seperti safar, berbuka lebih utama bagi musafir. Melakukan hal yang memberatkan diri padahal terdapat keringanan dari Allah, menunjukkan adanya sikap berpaling dari keringanan yang Allah berikan. Dalilnya:

“Sesungguhnya Allah menyukai untuk diambil keringanan-keringananNya sebagaimana Allah tidak suka untuk dimaksiati.” (HR Ahmad, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban pada kitab ash-Shahih dari keduanya)

3. Berpuasa sangat memberatkan musafir itu sehingga ia tidak mampu lagi untuk menanggungnya, atau bahkan memudharatkannya.

Berpuasa dalam keadaan seperti ini haram dan wajib untuk berbuka. Ini adalah pendapat al-Imam Ibnu Utsaimin dan al-Imam al-Albani. Dalilnya:

“Rasulullah pernah dalam safarnya melihat seseorang dikerumuni orang banyak dalam keadaan dinaungkan di bawah pohon (dari panas matahari). Lalu baginda bertanya, “Ada apa ini?” Mereka menjawab, “Orang ini berpuasa.” Baginda bersabda, “Bukan merupakan kebaikkan berpuasa dalam safar”.” (Muttafaq ‘alaih)

Demikian Sobat, ketentuan puasa bagi orang sakit dan musafir. Semoga bermanfaat bagi kita semua.

Sumber : https://t.me/thoriqussalaf