Membaca Basmallah dan Al-Fatihah Didalam Shalat

Setelah membaca ta’awudztata cara shalat selanjutnya sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah adalah membaca Basmallah dilanjutkan dengan membaca surah Alfatihah.

Pada kesempatan ini, kita akan mempelajari bagaimana hukum membaca basmallah dan alfatihah didalam shalat serta  bagaimana cara pembacaannya.

Membaca Basmallah

Membaca Basmallah dan Al-Fatihah Didalam Shalat
Membaca Basmallah dan Al-Fatihah Didalam Shalat

Hukum membaca Basmallah 

Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum membaca basmalah setelah membaca doa istiftah dan ta’awudz. Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa Bismillah merupakan bagian dari Al Fatihah, maka wajib membacanya sebagaimana wajibnya membaca Al Fatihah yang merupakan rukun shalat. Lalu sebagian ulama yang berpendapat ia bukan bagian dari Al Fatihah, mereka pun berbeda pendapat mengenai hukum membaca basmalah.

Basmallah adalah salah satu ayat dari kitab Allah, namun bukan ayat setiap surah. Basmallah terdapat didalam surah An-Naml:30

إِنَّهُ مِنْ سُلَيْمَانَ وَإِنَّهُ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Sesungguhnya surat itu, dari SuIaiman dan sesungguhnya (isi)nya: “Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang

Basmallah adalah ayat tersendiri yang dibaca di awal setiap surah kecuali surah Ba’ah (At-Taubah). Tidak ada pengganti untuk bacaan awal surah ini.

Hanafiyah, Hanabilah, Malikiyyah dan jumhur fuqaha berpendapat bahwa basmalah bukan bagian dari Al Fatihah. Mereka berdalil dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda,

قَالَ اللهُ تَعَالَى: قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ، وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ، فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ: {الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ} ، قَالَ اللهُ تَعَالَى: حَمِدَنِي عَبْدِي، وَإِذَا قَالَ: {الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ}، قَالَ اللهُ تَعَالَى: أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي، وَإِذَا قَالَ: {مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ}، قَالَ: مَجَّدَنِي عَبْدِي – وَقَالَ مَرَّةً فَوَّضَ إِلَيَّ عَبْدِي – فَإِذَا قَالَ: {إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ} قَالَ: هَذَا بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي، وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ، فَإِذَا قَالَ: {اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ} قَالَ: هَذَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَل

Artinya :
Allah berfirman, “Saya membagi shalat antara diri-Ku dan hamba-Ku menjadi dua. Untuk hamba-Ku apa yang dia minta.
Apabila hamba-Ku membaca, “Alhamdulillahi rabbil ‘alamin.”
Allah Ta’ala berfirman, “Hamba-Ku memuji-Ku.”
Apabila hamba-Ku membaca, “Ar-rahmanir Rahiim.”
Allah Ta’ala berfirman, “Hamba-Ku mengulangi pujian untuk-Ku.”
Apabila hamba-Ku membaca, “Maaliki yaumid diin.”
Apabila hamba-Ku membaca, “Hamba-Ku mengagungkan-Ku.” Dalam riwayat lain, Allah berfirman, “Hamba-Ku telah menyerahkan urusannya kepada-Ku.”
Apabila hamba-Ku membaca, “Iyyaka na’budu wa iyyaaka nasta’in.”
Allah Ta’ala berfirman, “Ini antara diri-Ku dan hamba-Ku, dan untuk hamba-Ku sesuai apa yang dia minta.”
Apabila hamba-Ku membaca, “Ihdinas-Shirathal mustaqiim….dst. sampai akhir surat.”
Allah Ta’ala berfirman, “Ini milik hamba-Ku dan untuk hamba-Ku sesuai yang dia minta.”
(HR. Ahmad 7291, Muslim 395 dan yang lainnya)

Hanafiyah, Hanabilah, Malikiyyah dan jumhur fuqaha berpendapat bahwa ayat pertama dari Al-fatihah adalah “Alhamdulillahi rabbil ‘alamin” berdasarkan hadis qudsi diatas. Demikian pula hukum membaca bismillah dapat diketahui dari dadil hadis  Anas bin Malik

مِعْتُ قتادةَ يُحَدِّثُ عن أنسٍ قال : صلَّيْتُ مع رسولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم ، وأبي بكرٍ ، وعمرَ ، وعثمانَ ، فلم أَسْمَعْ أحدًا منهم يقرأُ بسمِ اللهِ الرحمنِ الرحيمِ

aku shalat bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, Abu Bakar, Umar dan Utsman dan aku tidak mendengar mereka membaca bismillahir rahmanir rahim” (HR. Muslim 399).

Dengan demikian kesimpulannya bahwa apabila ada seseorang yang shalat dengan sengaja tidak membaca Bismillah, maka shalatnya sah karena basmalah bukan bagian dari surah Al-fatihah.

Sedangkan Ulama Syafi’iyyah berpendapat basmalah adalah bagian dari Al Fatihah. Mereka berdalil diantaranya dengan hadits, semisal hadits ketika Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam memberitahu para sahabat mengenai surat yang paling agung dalam Al Qur’an, beliau bersabda:هِيَ: الحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ العَالَمِينَ السَّبْعُ المَثَانِي

surat tersebut adalah ‘Alhamdulillahi rabbil’aalamiin’ yang terdiri dari 7 ayat” (HR. Al Bukhari 4474 , 4647).

mereka menghitung lafadz “shiraathalladziina an’amta ‘alaihim ghairil maghdhuubi ‘alaihim wa laadh dhaaliin” sebagai 1 ayat, sehingga basmalah termasuk dalam 7 ayat tersebut.

Demikian pula kaitannya antara Bismillah dengan semua ayat Alqur’an. Sebagaimana Hanafiyah, Hanabilah, Malikiyyah dan jumhur fuqaha berpendapat bahwa basmalah bukan bagian dari Al Fatihah, mereka juga berpendapat basmalah bukanlah bagian dari setiap surat (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 8/83). Namun basmalah memang Allah turunkan untuk pemisah antara surat yang satu dengan yang lain. Diantara alasan bahwa basmalah bukanlah bagian dari setiap surat, para ulama ijma’ bahwa surat Al Kautsar itu terdiri dari 3 ayat, dengan demikian basmalah bukan bagian dari surat Al Kautsar.

Adapun Syafi’iyyah berpendapat basmalah adalah bagian dari Al Fatihah dan juga dari setiap surat (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 8/84). Diantara alasannya adalah bahwa para sahabat Nabi mengumpulkan Al Qur’an dan menulis basmalah di setiap awal surat, padahal yang bukan berasal dari Al Qur’an tidak boleh ditulis dalam Al Qur’an. Dan para ulama sepakat bahwa basmalah yang berada di antara dua surat itu adalah kalamullah, sehingga wajib dianggap sebagai bagian dari surat Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 8/85). Dengan demikian Syafi’iyah berpendapat bahwa hukum membaca basmallah adalah wajib sebagaimana hadist Bukhari sebagai berikut :لا صلاةَ لمن لم يقرأْ بفاتحةِ الكتابِ

tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Faatihatul Kitaab” (HR. Al Bukhari 756, Muslim 394)

Cara Membaca Basmallah

Para ulama sepakat basmalah dibaca sirr (lirih) pada shalat yang sirr. Namun masyhur dikalangan para ulama bahwa mereka berbeda pendapat apakah membaca basmalah sebelum Al Fatihah itu dikeraskan (jahr) ataukah secara lirih (sirr) pada shalat yang jahr. Sebagian ulama Syafi’iyah berpendapat basmalah disunnahkan dibaca secara keras (jahr). Mereka berdalil dengan dalil-dalil yang menyatakan bahwa basmalah adalah bagian dari Al Fatihah, maka dibaca secara jahr sebagaimana Al Fatihah 

Sedangkan yang berpendapat bahwa basmalah disunnahkan dibaca secara lirih (sirr) tidak dikeraskan diantara yang berpendapat demikian adalah Imam Al Bukhari, Imam Muslim, Az Zaila’i, Ibnul Qayyim, Hanafiyyah, Hanabilah, dan lainnya (lihat Sifatu Shalatin Nabi, 83; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah, 16/181). Mereka mengatakan bahwa tidak ada dalil yang shahih dan sharih bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mengeraskan bacaan basmalah. Selain itu terdapat hadits dalam Shahihain, hadits dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu, beliau berkata: 

أنَّ النبيَّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ وأبا بكرٍ وعمرَ رضي اللهُ عنهما ، كانوا يفتتحونَ الصلاةَ : بالْحَمْدِ للهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

 “Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, Abu Bakar, Umar, mereka membuka shalat dengan Alhamdulillahi rabbil ‘alamin” (HR. Al Bukhari 743). 

Dalam riwayat Muslim:

 صلَّيْتُ مع رسولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم ، وأبي بكرٍ ، وعمرَ ، وعثمانَ ، فلم أَسْمَعْ أحدًا منهم يقرأُ بسمِ اللهِ الرحمنِ الرحيمِ 

aku shalat bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, Abu Bakar, Umar dan Utsman dan aku tidak mendengar mereka membaca bismillahir rahmanir rahim” (HR. Muslim 399)  Sedangkan ulama Malikiyyah berpendapat makruh membaca secara jahr. Al Qarafi mengatakan: “yang lebih wara’ adalah tetap membaca basmalah dalam rangka keluar dari khilaf, namun ia dibaca secara sirr dan makruh jika di-jahr-kan” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah, 16/182) 

Membaca Surah Al-Fatihah

Setelah membaca ta’awudz dan bismillah maka langkah selanjutnya adalah membaca surah Al-fatihah.

Hukum membaca Al-Fatihah

Membaca Al-Fatihah didalam Shalat adalah  merupakan rukun shalat. Tidak ada shalat bagi yang tidak membaca Al-Fatihah, hal ini berdasarkan Sabda Nabi sebagai berikut :

 لا صلاةَ لمن لم يقرأْ بفاتحةِ الكتابِ 

tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Faatihatul Kitaab (Al-Fatihah) ” (HR. Al Bukhari 756, Muslim 394) 

Juga berdasarkan hadist Abu Hurairah : 

مَنْ صَلَّى صَلاَةً لَمْ يَقْرَأْ فِيهَا بِأُمِّ الْقُرْآنِ فَهْىَ خِدَاجٌ – ثَلاَثًا – غَيْرُ تَمَامٍ ». فَقِيلَ لأَبِى هُرَيْرَةَ إِنَّا نَكُونُ وَرَاءَ الإِمَامِ. فَقَالَ اقْرَأْ بِهَا فِى نَفْسِكَ

Barangsiapa yang shalat lalu tidak membaca Ummul Qur’an (yaitu Al Fatihah), maka shalatnya kurang (tidak sah) -beliau mengulanginya tiga kali-, maksudnya tidak sempurna.”(HR. Muslim no. 395) Al-fatihah dibaca secara lengkap seperti yang diturunkan, yaitu membaca seluruh huruf, harakat, tasydid dan sukunnya tanpa mengubah sedikitpun darinya, baik sebagai imam, makmum, ataupun shalat sendirian. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata, “membaca Al Fatihah adalah rukun bagi semua orang yang shalat, tidak ada seorangpun yang dikecualikan, kecuali makmum masbuq yang mendapati imam sudah ruku’, atau mendapat imam masih berdiri namun sudah tidak sempat membaca Al Fatihah bersama imam

Cara membaca Al Fatihah

Membaca Al Fatihah adalah rukun bagi imam dan munfarid dalam shalat sirriyyah dan jahriyyah. Namun rukun bagi makmum dalam shalat sirriyyah saja, jahriyyah tidak.

Apabila imam membaca dengan jahr (mengeraskan bacaannya) seperti pada shalat Shubuh dan dua raka’at pertama dari shalat Maghrib dan Isya’, maka makmum wajib mendengarkan bacaan imam.

Pada awalnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperbolehkan makmum untuk membaca al-Fatihah di belakang imam pada shalat-shalat jahr.

عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ : كُنَّا خَلْفَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ صَلاَةِ الْفَجْرِ، فَقَرَأَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَثَقُلَتْ عَلَيْهِ الْقِرَا ءَةُ فَلَمَّا فَرَغَ قَالَ لَعَلَّكُم تَقْرَءُونَ خَلْفَ إِمَامِكُمْ ؟ قُلْنَا : نَعَمْ، هَذَّايَا رَسُولَ اللَّهِ ! قَالَ : لَا تَفْعَلُوا، إِلَّا (أَنْ يَقْرَأَ أَحَدُكُم) بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ، فَإِنَّهُ لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِهَا

Dari Ubadah bin ash-Shamit Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Kami pernah shalat bermakmum di belakang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada shalat Fajar. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat dan merasa terganggu (oleh bacaan salah seorang makmum). Setelah shalat beliau berkata, “Barangkali di antara kalian ada yang turut membaca di belakang imam kalian?” Kami menjawab, “betul, tetapi dengan cepat wahai Rasulullah!” Beliau bersabda, “Jangan kalian lakukan! Kecuali [jika seorang di antara kalian membaca] al-Fatihah, karena tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca al-Fatihah” [Shahih : Ahmad (V/313, 316, 322), Abu Dawud (no. 823), at-Tarmidzi (no. 311), Ibnul Jarud (no. 321), Ibnu Khuzaimah (no. 1581), al-Hakim (1/238), al-Baihaqi dalam as-Sunanul Kubra (II/164), al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 606), dan selainnya. Syaikh al-Albani berkata dalam AShlu Shifati Shalaatin Nabiy (I/327), “Ini adalah hadits shahih”.]

Selanjutnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang makmum membaca Al-Qur’an dalam shalat jahr. Peristiwa ini terjadi ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai melakukan shalat, di mana imam membaca Al-Qur’an dengan suara keras (dan dalam satu riwayat disebutkan bahwa shalat itu adalah shalat Shubuh).

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أََنَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْصَرَفَ مِنْ صَلاَةٍ حَهَرَ فَيْهَا بِالْقِرَاءَةِ (وَفِيْ رَوَايَةٍ : أَنَّهَا صَلاَةُ الصُّبْحِ)، فَقَالَ : هَلْ قَرَأَ مَعَيْ مِنْكُمْ أَحَدٌ آنِفًا؟!، فَقَالَ رَجُلٌ : نَعَمْ، أَنَا يَا رَسُولُ اللَّهِ! فَقَالَ : ((إِنِّيْ أَقُوْلُ : مَالِيْ أُنَازَعُ الْقُرْآنَ)) (قَالَ أَبُوْ هُرَيْرَةَ 🙂 فَانْتَهَى النَّاسُ عَنِ الْقِرَاءَةِ مَعَ رَسُوْ لِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْمَا جَهَرَ فِيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْقِرَاءَةِ حِيْنَ سَمِعُوْا ذَلِكَ مِنْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، (وَقَرَؤُوْا فِيْ أَنْفُسِهِمْ سِرَّا فِيْمَا لاَ يَجْهَرُ فِيْهِ الْإِمَامُ)

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai dari shalat yang beliau membaca dengan keras di dalamnya (dalam satu riwayat bahwa itu adalah shalat Shubuh), lalau beliau bersabda, “Apakah ada seseorang di antara kalian yang barusan membaca (ayat Al-Qur’an) bersamaan denganku?” Seorang laki-laki berkata, “Ya, saya wahai Rasulullah!” Maka beliau bersabda, “Sesungguhnya aku selalu mengatakan, “Kenapa bacaanku diganggu?’ (Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata 🙂 Kaum muslimin (para Shahabat) berhenti membaca Al-Qur’an bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam –pada shalat yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca dengan keras di dalamnya- setelah mereka mendengar sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hal itu. (Dan mereka membaca al-Fatihah secara sir (tanpa suara) dalam shalat di mana imam tidak mengeraskan bacaannya).[Shahih : HR Malik (I/94, no. 44), Abu Dawud (no. 826, 827), at-Tarmidzi (no. 312), al-Baihaqi dalam as-Sunanul Kubra (II/157). Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud (III/409, no. 781)
]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan diamnya makmum mendengarkan bacaan imam termasuk kesempurnaan bermakmum.

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ((إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ، فَإِذَا كَبَرَ فَكَبِّرُوْا، وَإِذَا قَرَأَ فَأَنْصِتُوْا))

Dari Abu Hurairah Rahiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya diadakannya imam itu adalah untuk diikuti. Apabila ia bertakbir maka takbirlah kalian dan jika ia membaca (ayat Al-Qur’an) maka diamlah kalian”[Shahih ligharihi : HR Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (no. 7207), Ahmad (II/375, 420), Abu Dawud (no. 604), Ibnu Majah (no. 846), an-Nasa-i (II/141-142), dan selainnya. Lihat Shahih Sunan Abi Dawud (III/159, no. 617)]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menjadikan mendengarkan bacaan imam itu sebagai hal yang mencukupi bagi makmum sehingga ia tidak perlu lagi membacanya di belakang imam, sebagaimana sabdanya.مَنْ كَانَ لَهُ إِمَامٌ، فَقِرَاءَةُ الْإمَامِ لَهُ قِرَاءَةٌ

Barangsiapa shalat mengikuti imam, maka bacaan imam itu menjadi bacaannya”[Hasan : HR Ath-Thahawi dalam Syarh Ma’aanil Aatsaar (I/217), ad-Daruquthni (no. 1238), al-Baihaqi (II/159-160), dan selainnya. Dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Irwaa-ul Ghaliil (no. 500)]

Ini pada shalat jahr (shalat yang bacaannya dikeraskan). Adapun dalam shalat sir (shalat yang bacaannya tidak dikeraskan) maka makmum wajib membaca al-Fatihah

Adapun bacaan Al-Fatihah gugur bagi makmum ketika ia mendapati imam dan khawatir ketinggalan rakaat jika membancanya.

 “Bahwa pada suatu hari dia masuk masjid dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (beserta para jama’ah) sedang ruku’. Lalu Abu Bakrah Radhiyallahu ‘anhu ruku’ sebelum sampai shaf. Kemudian (sambil ruku’) dia berjalan menuju shaf. (setelah selesai shalat) Nabi bersabda kepadanya ; Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menambah semangatmu (dalam kebaikan) tapi jangan diulang lagi” [HR Abu Dawud : 586]

Dan ternyata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyuruh Abu Bakrah Radhiyallahu ‘anhu menambah satu rakaat lagi. Hal ini menunjukkan bawha orang yang masuk dalam shalat jama’ah ketika imam sedang ruku’, dia dihitung mendapat satu raka’at. Dan juga menunjukkan bahwa kita tidak boleh ruku’ sendirian di belakang shaf. Tapi harus masuk dulu ke dalam shaf, baru kita ruku’, walaupun hal ini bisa menyebabkan kita tertinggal (dari ruku’nya imam). Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepad Abu Bakrah Radhiyallahu ‘anhu.

Mambaca Amin Setelah Bacaan Al-Fatihah

Setelah membaca Al-Fatihah, hendaknya mengucapkan “Amin” dengan mengeraskan suara dalam shalat jahriyah jika seseorang bertindak sebagai imam, demikian pula makmum. Menurut kebanyakan para ulama, kata “Amîn” (آمين) itu sendiri bermakna Ya Allâh kabulkanlah ! Imam Ibnu Abdilbarr rahimahullah menyatakan, “Menurut para ulama, kata “amîn” itu bermakna Ya Allâh kabulkanlah doa-doa kami.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِذَا أَمَّنَ الإِمَامُ فَأَمِّنُوا فَإِنَّهُ مَنْ وَافَقَ تَأْمِينُهُ تَأْمِينَ الْمَلاَئِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Apabila imam mengucapkan ‘âmîn’ maka ucapkanlah ‘âmîn’, karena siapa yang ucapan âmînnya bersamaan dengan ucapan âmîn para malaikat maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu [HR Bukhâri no. 111 dan Muslim 4/128]

Demikian Sahabat Muslim, semoga Allah Subhanahu Wata’ala memberikan taufiq kepada kita. Amiin.

Referensi :

  • https://rumaysho.com/3228-faedah-2-surat-al-fatihah.html
  • https://konsultasisyariah.com/29491-dialog-dengan-allah-ketika-membaca-surat-al-fatihah.html
  • https://muslim.or.id/19744-hukum-basmalah-dalam-shalat.html
  • https://almanhaj.or.id/3038-penghapusan-disyariatkannya-membaca-al-fatihah-bagi-makmum-pada-shalat-jahr.html
  • https://almanhaj.or.id/2312-ikut-shalat-berjamaah-ketika-imam-sedang-ruku-apakah-bertakbir-untuk-takbiratul-ikhram-atau-ruku.html 
  • https://almanhaj.or.id/3600-mengucapkan-amien-setelah-al-fatihah.html
  • Sifat Shalat Nabi Karya Shaikh Al Albani (3 Jilid Lengkap)
  • Sifat Shalat Nabi Karya Shaikh Al-Utsaimin Penerbit : Ummul Qura Halaman : 119 – 125