Bagaimana Hukum Shalat Jumat dan Shalat Berjamaah Selama Wabah Covid-19

Bagaimana Hukum Shalat Jumat dan Shalat Berjamaah Selama Wabah Covid-19 ? | Kangdede.web.id – Wabah Covid-19 atau dikenal dengan virus corona saat ini sudah sangat mengkhawatirkan, khususnya di Indonesia. Berdasarkan pantauan di situs covid19.go.id, sampai dengan saat ini 31 Maret 2020 pukul 15.32, sudah terdapat 1.528 kasus positif covid-19, dengan 136 meninggal dan 136 sembuh.

Sedangkan secara global, sebanyak 204 negara / kawasan telah terdampak penyebaran virus corona covid-19, Terdapat Kasus Terkonfirmasi 697.244 dengan kematian sebanyak 33.257.

Kontroversi Shalat Jumat dan Shalat Berjamaan Selama Wabah Covid-19

Langkah Yang Diambil Pemerintah Republik Indonesia dalam Rangka Menekan Penyebaran Covid-19

Dengan penyebaran coronavirus yang cukup cepat sangat mempengaruhi lini kehidupan masyarakat Indonesia, mulai dari bidang ekonomi, sosial budaya hingga masalah keagamaan.

Pemerintah RI telah melakukan langkah-langkah kongkrit untuk mencegah penyebaran covid-19 ini. Diantaranya yang cukup kontroversial adalah mengenai pengaturan praktik keagamaan. Hal ini sebagaimana telah disampaikan oleh Presiden Republik Indonesa, Bapak Joko Widodo “Saatnya kita kerja dari rumah, belajar dari rumah, ibadah di rumah“. Hal ini disampaikan Beliau dalam konferensi pers di Istana Bogor, Minggu (15/3/2020), seperti dikutip dari kompas.com

Memang dengan karantina mandiri diharapkan penyebaran covid-19 bisa ditekan dengan penerapan WFH (Work From Home) yang juga telah dilakukan oleh penulis, belajar dirumah dengan memberhentikan kegiatan belajar mengajar di kelas serta beribadah dirumah. Selain itu berbagai sosialisasi dan kampanye dalam memerangi covid-19 ini banyak dilakukan antara lain dengan penerapan Sosial Distancing, anjuran untuk selalu cuci tangan dengan sabun, tidak bersalaman, lock down serta menjaga kebersihan lingkungan.

Dalam hal beribadah dirumah, umat Islam disarankan mengganti ibadah jum’at dengan shalat duhur, serta shalat berjamaah sementara waktu dilakukan dirumah. Tentu hal ini disesuaikan dengan keadaan dan situasi penyebaran covid-19 di daerah tertentu. Hal ini tidak hanya diberlakukan untuk masyarakat muslim, warga negara non muslim pun dianjurkan agar beribadah dirumah.

Bagaimana Hukum Shalat Jumat dan Shalat Berjamaah Selama Wabah Covid-19 ?

Baca Juga : Tata Cara Shalat

Fatwa MUI No 14 Tahun 2020 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Dalam Situasi Terjadinya Wabah Covid-19

Keputusan pemerintah dalam menangani atau menekan penyebaran covid-19 ini sejalan dengan rekomendasi MUI sesuai dengan Fatwa MUI No. 14 Tahun 2020 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Dalam Situasi Terjadi Wabah Covid-19.

Fatwa MUI tersebut diatas telah didasarkan pada pondasi (dalil) Firman Allah Subhanahu Wata’ala yaitu dalam beberapa ayat Alqur’an, Hadis sahih, Qaidah Fiqhiyyah, pendapat ulama kibar serta pendapat, saran dan masukan dalam sidang Komisi Fatwa MUI.

Pada intinya keputusan Fatwa MUI No 14 Tahun 2020 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Dalam Situasi Terjadi Wabah Covid-19, adalah sebagai berikut :

Pertama : Ketentuan Umum
Dalam fatwa ini yang dimaksud dengan : COVID-19 adalah coronavirus desease, penyakit menular yang disebabkan oleh coronavirus yang ditemukan pada tahun 2019.
Kedua : Ketentuan Hukum

  1. Setiap orang wajib melakukan ikhtiar menjaga kesehatan dan menjauhi setiap hal yang dapat menyebabkan terpapar penyakit, karena hal itu merupakan bagian dari menjaga tujuan pokok beragama (al-Dharuriyat al-Khams).
  2. Orang yang telah terpapar virus Corona, wajib menjaga dan mengisolasi diri agar tidak terjadi penularan kepada orang lain. Baginya shalat Jumat dapat diganti dengan shalat zuhur, karena shalat jumat merupakan ibadah wajib yang melibatkan banyak orang sehingga berpeluang terjadinya penularan virus secara massal. Baginya haram melakukan aktifitas ibadah sunnah yang membuka peluang terjadinya penularan, seperti jamaah shalat lima waktu/rawatib, shalat Tarawih dan Ied di masjid atau tempat umum lainnya, serta menghadiri pengajian umum dan tabligh akbar.
  3. Orang yang sehat dan yang belum diketahui atau diyakini tidak terpapar COVID-19, harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
    a. Dalam hal ia berada di suatu kawasan yang potensi penularannya tinggi atau sangat tinggi berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang maka ia boleh meninggalkan salat Jumat dan menggantikannya dengan shalat zuhur di tempat kediaman, serta meninggalkan jamaah shalat lima waktu/rawatib, Tarawih, dan Ied di masjid atau tempat umum lainnya.
    b. Dalam hal ia berada di suatu kawasan yang potensi penularannya rendah berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang maka ia tetap wajib menjalankan kewajiban ibadah sebagaimana biasa dan wajib menjaga diri agar tidak terpapar COVID-19, seperti tidak kontak fisik langsung (bersalaman, berpelukan, cium tangan), membawa sajadah sendiri, dan sering membasuh tangan dengan sabun.
  4. Dalam kondisi penyebaran COVID-19 tidak terkendali di suatu kawasan yang mengancam jiwa, umat Islam tidak boleh menyelenggarakan shalat jumat di kawasan tersebut, sampai keadaan menjadi normal kembali dan wajib menggantikannya dengan shalat zuhur di tempat masing-masing. Demikian juga tidak boleh menyelenggarakan aktifitas ibadah yang melibatkan orang banyak dan diyakini dapat menjadi media penyebaran COVID-19, seperti jamaah shalat lima waktu/rawatib, shalat Tarawih dan Ied di masjid atau tempat umum lainnya, serta menghadiri pengajian umum dan majelis taklim.
  5. Dalam kondisi penyebaran COVID-19 terkendali, umat Islam wajib menyelenggarakan shalat Jumat dan boleh menyelenggarakan aktifitas ibadah yang melibatkan orang banyak, seperti jamaah shalat lima waktu/rawatib, shalat Tarawih dan Ied di masjid atau tempat umum lainnya, serta menghadiri pengajian umum dan majelis taklim dengan tetap menjaga diri agar tidak terpapar COVID-19.
  6. Pemerintah menjadikan fatwa ini sebagai pedoman dalam menetapkan kebijakan penanggulangan COVID-19 terkait dengan masalah keagamaan dan umat Islam wajib menaatinya.
  7. Pengurusan jenazah (tajhiz al-janaiz) yang terpapar COVID-19, terutama dalam memandikan dan mengafani harus dilakukan sesuai protokol medis dan dilakukan oleh pihak yang berwenang, dengan tetap memperhatikan ketentuan syariat. Sedangkan untuk menshalatkan dan menguburkannya
    dilakukan sebagaimana biasa dengan tetap menjaga agar tidak terpapar COVID-19.
  8. Tindakan yang menimbulkan kepanikan dan/atau menyebabkan kerugian publik, seperti memborong dan/atau menimbun bahan kebutuhan pokok serta masker dan menyebarkan informasi hoax terkait COVID-19 hukumnya
    haram.
  9. Umat Islam agar semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan memperbanyak ibadah, taubat, istighfar, dzikir, membaca Qunut Nazilah di setiap shalat fardhu, memperbanyak shalawat, sedekah, serta senantiasa berdoa kepada Allah SWT agar diberikan perlindungan dan keselamatan dari musibah dan marabahaya ( daf’u al-bala’), khususnya dari wabah COVID-19.

Fatwa MUI tersebut juga disertai dengan rekomendasi bagi Pemerintah untuk segera menetapkan status dari suatu wilayah berkaitan dengan penyebaran Covid-19 ini.

Untuk Sobat yang ingin mengetahu isi Fatwa MUI No 14 Tahun 2020 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Dalam Situasi Terjadi Wabah Covid-19, dapat mendownloadnya disini.

Pendapat yang Kontroversi dengan Keputusan Pemerintah dan Fatwa MUI

Dengan adanya keputusan tersebut diatas, ada beberapa pendapat yang kontroversi dan bahkan terjadi beberapa kasus kegaduhan dibeberapa tempat, seperti di Masjid Agung Bandung. Penulis sendiri sempat menyaksikan potongan video dimana beberapa orang masyarakat menurunkan spanduk himbauan yang dipasang oleh DKM Masjid Raya Bandung pada pelaksanaan ibadah shalat jumat. Baca juga berita terkait : https://news.detik.com/berita-jawa-barat/d-4948222/massa-yang-copot-paksa-spanduk-di-masjid-raya-bandung-minta-maaf

Dilain pihak ada potongan video juga yang tersebar di pesan whatsapp seorang jamaah berdebat dengan pengurus masjid karena tidak diperkenankan beribadah shalat jumat di masjid tersebut.

Pada intinya beberapa pendapat yang kontra ini adalah sebagai berikut :

  • Pelarangan ibadah di masjid baru terjadi di masa pemerintahan saat ini, hal ini karena telah disusupi oleh paham komunisme.
  • Shalat berjamaah di masjid sangat dianjurkan dan memiliki berbagai keutamaan diantaranya dilipatgandakan pahala 27 derajat lebih tinggi dari shalat sendirian.
  • Masjid ditutup tapi mall, tempat hiburan dll tetap buka
  • Umat islam tidak boleh takut dengan coronavirus atau covid-19, tapi takut hanya kepada Allah, karena mati sudah menjadi kepastian dan jika sudah waktunya maka tidak bisa ditolak.
  • Adanya penyebaran hadis-hadis dhaif terkait jamaah masjid pada masa wabah covid-19, diantaranya : “Sesungguhnya apabila Allah ta’ala menurunkan penyakit dari langit kepada penduduk bumi maka Allah menjauhkan penyakit itu dari orang-orang yang meramaikan masjid.” Ada beberapa hadis serupa yang dapat Sobat baca di website muhammadiyah.

Jawaban Atas Kontroversi Shalat di Rumah pada masa Wabah Covid-19

Dan berikut ini Kangdede ingin mengutip beberapa alasan yang akan menjawab kontroversi atas anjuran shalat di rumah pada masa darurat seperti saat ini dimana penyebaran covid-19 yang sangat cepat.

Keringanan untuk Tidak Shalat Jum’at dan Tidak Shalat Berjamaah di Masjid karena Suatu Udzur

Sebenarnya hukum dispensasi tidak menghadiri shalat jum’ah dan shalat jamaah dalam kondisi terjadinya wabah (penyakit) atau khawatir tersebarnya wabah ini sudah sangat jelas terdapat pada Fatwa MUI No 14 Tahun 2020 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Dalam Situasi Terjadi Wabah Covid-19. Namun untuk memperkuatnya Kangdede juga akan mengutip keputusan otoritas perkumpulan para ulama besar pemerintahan Saudi Arabia No (246) pada tanggal 16/7/1441H sebagai berikut :

Segala puji hanya milik Allah Tuhan seluruh alam, shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada nabi kita Muhammad, keluarga dan seluruh shahabatnya, amma ba’du:

Otoritas perkumpulan para ulamaa besar dalam pertemuan khusus ke-24 yang dilaksanakan di kota Riyad pada hari Rabu bertepatan pada tanggal 16/7/1441H telah melihat apa yang disodorkan terkait dispensasi tidak menghadiri shalat jum’ah dan jamaah dalam kondisi menyebarnya wabah atau takut tersebarnya wabah. Setelah mengadakan kajian mendalam dalam nash syariat Islam, tujuan dan kaidah-kaidahnya serta perkataan ahli ilmu dalam masalah ini, maka otoritas perkumpulan para ulama besar memberikan penjelasan berikut ini:

Pertama: Pasien yang terkena musibah ini diharamkan menghadiri shalat jum’ah dan jamaah berdasarkan sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam:

لا يُورِدَنَّ مُمْرِضٌ علَى مُصِحٍّ . متفق عليه

“Jangan dikumpulkan Orang yang sakit dengan orang sehat” [Muttafaq’alaihi]

Dan sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam:

إِذَا سَمِعْتُمْ بِالطَّاعُونِ بِأَرْضٍ فَلاَ تَدْخُلُوهَا، وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلاَ تَخْرُجُوا مِنْهَا. متفق عليه

“Kalau kamu semua mendengar penyakit tho’un (wabah penyakit) suatu daerah, maka jangan masuk ke dalamnya. Dan ketika (wabah) telah memasuki suatu daerah sementara anda semua berada di dalamnya, maka jangan keluar darinya.” [Muttafaq’alaihi]

Kedua: Siapa yang diputuskan oleh instansi khusus untuk diasingkan, maka dia harus berkomitmen akan hal itu dan tidak menghadiri shalat jamaah dan jum’ah, dia menunaikan shalat-shalatnya di rumah atau di tempat pengasingannya. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Syuraid bin Suwaid At-Tsaqofi Radhiyallahu ahhu berkata,

كان في وَفْدِ ثَقِيفٍ رَجُلٌ مَجْذومٌ، فأَرْسَلَ إليه النبيُّ صلى الله عليه وسلم: إنّا قَدْ بايَعْناكَ فَارْجِعْ .أخرجه مسلم

“Dahulu ada utusan dari Tsaqif ada yang terkena kusta. Maka Nabi sallallahu alihi wa sallam mengirim pesan ‘Sungguh kami telah membait anda, maka pulanglah.” [HR. Muslim]

Ketiga: Siapa yang khawatir terkena celaka atau mencelakai orang lain, maka dia diberi keringanan tidak menghadiri jum’ah dan jamaah berdasarkan sabda Nabi sallallahu alaihi wa sallam:

لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ . رواه ابن ماجه

“Tidak boleh mencelakai diri dan mecelakai orang lain” [HR. Ibnu Majah]

Dari semua yang disebutkan, kalau dia tidak menghadiri jum’ah, maka dia shalat dhuhur 4 rakaat.

Dan otoritas perkumpulan ulama besar memberikan wasiat agar semua mengikuti taklimat, arahan dan aturan-aturan yang dikeluarkan oleh instansi khusus. sebagaimana memberikan wasiat agar semuanya bertakwa kepada Allah azza wa Jalla dan kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan berdoa dan merendahkan diri dihadapan-Nya agar mengangkat cobaan ini. Allah Ta’ala berfirman:

وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللَّهُ بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهُ إِلَّا هُوَ ۖ وَإِنْ يُرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلَا رَادَّ لِفَضْلِهِ ۚ يُصِيبُ بِهِ مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ ۚ وَهُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

“Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak kurniaNya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [Yunus/10:107]

Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ

“Dan Tuhanmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu” [Al-Ghaafir/40:60]

Semoga shalawat dan salam terlimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan semua shahabatnya.

Selesai dari link: https://www.spa.gov.sa/2047028

Berikut penulis juga mengutip beberapa hadis mengenai keringanan shalat Jumat dan Shalat Berjamaan di Masjid :

Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas, beliau mengatakan kepada muazin pada saat hujan, ”Apabila engkau mengucapkan “Asyhadu allaa ilaha illalloh, asyhadu anna Muhammadar Rasulullah”, maka janganlah engkau ucapkan “Hayya ’alash sholaah”. Tetapi ucapkanlah “Sholluu fii buyutikum” (Shalatlah di rumah kalian).
Lalu perawi mengatakan, ”Seakan-akan manusia mengingkari perkataan Ibnu Abbas tersebut”. Lalu Ibnu Abbas mengatakan, ”Apakah kalian merasa heran dengan hal itu?. Sungguh orang yang lebih baik dariku telah melakukan seperti ini. Sesungguhnya (shalat) Jumat adalah suatu kewajiban. Namun, aku tidak suka jika kalian merasa susah (berat) jika harus berjalan di tanah yang penuh lumpur.” Dalam riwayat lain, Ibnu Abbas mengatakan, ”Orang yang lebih baik dariku telah melakukan hal ini yaitu Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam”. (HR. Muslim no. 699).
ㅤㅤㅤ
Imam An Nawawi menjelaskan, ”Dari hadis di atas terdapat dalil tentang keringanan untuk tidak melakukan shalat berjamaah ketika turun hujan dan ini termasuk uzur (halangan) untuk meninggalkan shalat berjamaah.” Menurut beliau letak tambahan lafaz “shalatlah di rumah kalian” lebih bagus diletakkan di akhir setelah azan biasa dikumandangkan. (Syarh Muslim, 5/207).
ㅤㅤㅤ
Dari Hadis diatas, mari kita analogikan kasus hujan dan wabah virus Corona atau Covid-19. Mana kiranya yg lebih besar bahayanya, hujan atau Covid-19?
Tentu wabah virus Covid-19 bukan?.
ㅤㅤㅤ
Jika hujan saja bisa menjadi uzur boleh tidak shalat Jumat dan berjamaah, apalagi virus Corona.
ㅤㅤㅤ
Metode pendalilan inilah yang digunakan oleh Syekh Prof. Sulayman Al Ruhayli hafidzahullah (ulama Madinah dan guru besar fakultas Syari’ah Universitas Islam Madinah) pada fatwa beliau yang disampaikan lewat akun twitter.com/solyman24
Jika didapati keberadaan virus Corona di suatu daerah, atau pemerintah setempat melarang kerumunan massa, maka boleh tidak melaksanakan shalat Jumat dan shalat berjamaah di masjid. Masyarakat mendapatkan pahala keringanan boleh shalat di rumah mereka, karena wabah Corona lebih berbahaya daripada hujan lebat, sedangkan karena hujan lebat saja seseorang boleh mengerjakan shalat di rumahnya“.
ㅤㅤㅤ

Masjid Ditutup tapi Mall dan Tempat Hiburan Tidak

Rasanya ini sudah bisa terjawab dengan fakta-fakta dimana pemerintah baik pusat maupun daerah telah melakukan upaya karantina wilayah. Dengan sendirinya pengelolan mall dan tempat hiburan membatasi bahkan menutup layanannya demi untuk bersama-sama melawan virus Covid-19 agar tidak semakin banyak korban berjatuhan.

Umat islam tidak boleh takut dengan coronavirus atau covid-19, tapi takut hanya kepada Allah, karena mati sudah menjadi kepastian dan jika sudah waktunya maka tidak bisa ditolak

Subheading diatas adalah ucapan orang yang jahil, karena takut pada virus covid-19 adalah takut yang wajar. Berbeda dengan takut pada sesuatu yang tidak logis, seperti jika bepergian pada hari atau jam tertentu maka akan mendapatkan celaka, atau takut takut tidak dapat jodoh jika duduk di pintu, dll.

Di saat rombongan Khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu ’anhu mengadakan agenda kunjungan ke negeri Syam, beliau mendapatkan kabar bahwa di Syam sedang tersebar wabah tho’un. Sehingga beliau pun mengurungkan rencana kunjungan tersebut.

Abu Ubaidah radhiyallahu ’anhu sebagai gubernur Syam ketika itu, menyayangkan batalnya kunjungan itu. Beliau berkata kepada Umar,

يا أمير المؤمنين، أفراراً من قدر الله؟

“Wahai Amirul Mukminin.. Mengapa anda lari dari takdir Allah?“

Lalu Umar radhiyallahu ’anhu menjawab dengan sangat hikmah,

لو غيرك قالها يا أبا عبيدة! نعم، نفرّ من قدر الله إلى قدر الله، أرأيت لو كانت لك إبل فهبطت واديا له عدوتان، إحداهما خصبة، والأخرى جدبة، أليس إن رعيتَ الخصبة رعيتَها بقدر الله، وإن رعيت الجدبة رعيتَها بقدر الله؟

“Aku berharap bukan Anda yang mengucapkan itu, ya Abu Ubaidah. Iya benar, kami sedang lari dari takdir Allah menuju takdir Allah yang lain. Seandainya kamu punya unta, kemudian ada dua lahan yang subur dan yang kering. Bukankah bila Anda gembalakan ke lembah yang kering itu adalah takdir Allah, dan jika Anda pindah ke lembah subur itu juga takdir Allah?!

“Iya benar…” Jawab sahabat Abu Ubaidah radhiyallahu ’anhu.

Umar pun takut pada wabah tho’un, kemudian berikhtiar menghindar. Padahal beliau adalah salah satu dari sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga, Khalifahnya Rasulullah, orang yang Nabi pernah bilang, “kalau ada Nabi setelahku, maka Umar orangnya.” Sosok yang pernah Nabi ceritakan bahwa setan tidak berani melewati jalan yang dilewati oleh Umar. Kita siapa? Umar bukan? Nabi bukan? Rasul bukan? Shalih juga masih ragu-ragu? Kemudian petantang-petenteng?!

Ini menunjukkan bahwa, sebenarnya takut kepada Corona tidak bertentangan dengan takut kepada Allah.

Karena takut kepada makhluk yang bisa mendatangkan bahaya, tergolong takut yang sifatnya tabiat (thobi’i).

Allah Ta’ala memaklumi adanya takut seperti ini pada diri manusia. Karena itu bagian dari fitrah yang Allah tanamkan pada diri manusia. Sehingga tidak perlu dipertentangkan dengan takut kepada Allah.

Bahkan manusia yang mulian yaitu para Nabi, pun merasakan takut ini. Sebut saja Nabi Musa ‘alaihis salam. Allah Ta’ala berfirman,

فَخَرَجَ مِنۡهَا خَآئِفٗا يَتَرَقَّبُۖ قَالَ رَبِّ نَجِّنِي مِنَ ٱلۡقَوۡمِ ٱلظَّٰلِمِينَ

“Maka keluarlah Musa dari kota itu dengan rasa takut, waspada (kalau ada yang menyusul atau menangkapnya). Dia berdoa, “Ya Tuhanku, selamatkanlah aku dari orang-orang yang zhalim itu.” (QS. Al-Qashash: 21)

Saat Allah menunjukkan mukjizat Nabi Musa dihadapan para penyihir Fir’aun, ketika tongkat beliau berubah menjadi ular, Musa gelisah ketakutan.

وَأَلۡقِ عَصَاكَۚ فَلَمَّا رَءَاهَا تَهۡتَزُّ كَأَنَّهَا جَآنّٞ وَلَّىٰ مُدۡبِرٗا وَلَمۡ يُعَقِّبۡۚ يَٰمُوسَىٰ لَا تَخَفۡ إِنِّي لَا يَخَافُ لَدَيَّ ٱلۡمُرۡسَلُونَ

“Lemparkanlah tongkatmu!” Maka ketika (tongkat itu menjadi ular dan) Musa melihatnya bergerak-gerak seperti seekor ular yang gesit, larilah dia berbalik ke belakang tanpa menoleh. ”Wahai Musa! Jangan takut! Sesungguhnya di hadapan-Ku, para rasul tidak perlu takut.” (QS. An-Naml: 10)

Lihatlah, Nabi Musa pun takut kepada ular. Apakah sekelas Nabi Musa yang kualitas takwa dan tauhidnya jelas terjamin baik; bayangkan beliau termasuk Nabi Ulul Azmi, melihat ular-ular itu kemudian berkata, “Saya ngga takut ular. Saya hanya takut kepada Allah. Sini ular saya cincang kalian.”?! Ternyata tidak, Allah Tuhan yang maha tahu isi hati manusia sendiri bahkan yang menceritakan dan tidak mengingkari adanya takut jenis itu pada diri Musa.

Pentingnya mengimani takdir dengan benar dan patuh terhadap anjuran di atas semata-mata sebagai bentuk ikhtiar kita agar virus covid-19 ini segera musnah dari muka bumi. Coba perhatikan, pelajaran penting tentang takdir dari Imam Ibnul Qayyim rahimahullah; Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam membimbing umat dalam mengimani takdir sehingga tercapailah kebahagiaan dengan melakukan dua hal:

  1. Beriman kepada takdir, karena mengimaninya bagian dari tauhid.
  2. Melakukan sebab atau usaha untuk meraih kebaikan dan selamat dari kejelekan. (Al-Qadha’ wa Al-Qadr li Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, hlm. 191, Penerbit Al-Maktab Al-Islami).

Demikian Sobat sekelumit catatan Kangdede mengenai Bagaimana Hukum Shalat Jumat dan Shalat Berjamaan Selama Wabah Covid-19 ? Semoga bermanfaat.

Referensi :

– “https://almanhaj.or.id/14636-hukum-menghadiri-shalat-jumah-dan-jamaah-dalam-kondisi-tersebarnya-wabah-atau-takut-terjadi-penyebarannya.html” – “https://www.instagram.com/p/B9_mmUZBLNy/” – “https://muslim.or.id/55371-aku-tak-takut-corona-aku-hanya-takut-allah.html